Keserupaan Spirit dalam Lidah Ular: Merunut Ahmad Sadali dan Fadjar Sidik

Adhi Pandoyo
35 min readNov 28, 2019

--

Selasa Siang itu, aku tiba di Jogja Contemporary, tepat di bilangan JNM (Jogja National Museum), bekas kampus legendaris ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia). Terpampang banner bertuliskan Ahmad Sadali dan Fadjar Sidik. Aku masuk dan melihat. Singkatnya, beberapa wajah kukenali, namun lebih banyak yang belum. Memungut gelas, menyeduh kopi dan menggigit jajanan yang disediakan. Lalu turut serta di barisan lesehan, masing masing di atas matras hitam setengah lingkaran. Duduklah kami para peserta diskusi membahas tentang pengkajian seni rupa. Datanglah Agus Burhan, seorang seniman cum kurator yang sekarang lebih dikenal sebagai rektor ISI Yogyakarta. Kami pun berbincang santai lewat pantikan bahasan yang digulirkan, berlanjut sesi diskusi. Demikianlah esok hari, dipandu Ahmad Munjid, dosen pasca sarjana UGM. Beliau sering kudengar namanya, namun baru kesempatan inilah yang mempersuakan. Hingga di hari kamis, persis di pertemuan terakhir, tibalah Saut Situmorang, penyair gimbal bin gempal, berpunya tato tribal. Penyair yang pembawaanya girang tetapi sangat kritis ini, sore itu memandu obrolan perihal menulis esai.

*

Hari-hari itu telah berlalu dan bayang-bayang tentang penulisan menjadi memo singkat yang terpaku di wallpaper pikiranku, merayu untuk dicabut dan dilaksanakan. Akupun mencoba menulis dengan mengingat pengalaman-pengalaman melihat lukisan demi lukisan di berbagai pameran. Hematku, setiap lukisan merayu sesiapa untuk tidak berhenti pada apa yang ditampakkan, baik susunan garis, bidang, tekstur, warna, hingga sosok sekalipun. Maka sejak itulah, lahirlah sebuah laku pemaknaan. Katakanlah pemaknaan yang mengisyaratkan sebuah kisah atau narasi di dalam apa yang ditampakkan atau direpresentasikan, maupun pemaknaan atas daya gugah perasaan dan pencerapan yang didapat dari pengalaman imajinatif atas visual sebuah lukisan, baik sesiapa maupun kita selaku audien, ketika melihatnya. Tetapi yang tak kalah penting adalah dalam kita memahami sisi subyektif dari sang pencipta, atau pelukis terhadap apa yang dihayati, dirasakan ataupun dipahaminya, termasuk konteks sejarah atau konteks zaman yang dialaminya selama hidup dan membuat karya. Walhasil sedemikian nyatapun representasi lukisan, semisal mimesis atau peniruan akan suatu obyek yang demikian persis sekalipun, bagaimanapun tetaplah bukan suatu kenyataan sesungguhnya,[1] dan subyektifitas seniman menjadi unsur utama dalam memahami karya seninya. Sebab dengan demikian alih-alih apa yang direpresentasikan, cita rasa subyektif seniman dalam karya adalah hidangan utama yang pantang dilewatkan, menyangkut pemaknaan karya seninya. Lantas cita rasa apakah yang ada dalam karya Ahmad Sadali dan Fadjar Sidik? Apakah jawabannya cukup dengan frasa: Seni Rupa Abstrak!

Sebelumnya perlu diketengahkan bahwa perjumpaan Forum Literasi Seni Rupa, sebagaimana kuceritakan di muka, persisnya berlangsung selama tiga hari berturut-turut antara 20–22 Juli 2017. Intinya, persuaan itu bertujuan untuk membincangkan beberapa hal menyoal pengkajian karya seni, terkait pameran karya-karya Ahmad Sadali dan Fadjar Sidik yang sedang berlangsung di Jogja Contemporary. Timbullah pertanyaan awalku, mengapa Fadjar Sidik dan Ahmad Sadali yang dipilih? Kendati dalam soal pameran, memanglah mengandung kesan acak atau arbitrer, sehingga siapapun bisa saja ditampilkan, asalkan senimannya memang menghendaki pameran, dan paling utamanya adalah dukungan dari pihak penyelenggara, katakanlah galeri maupun kurator. Tentang yang terakhir, buatku peran kurator selaku agen adalah bagaimana mengkerangkai, mengkonsepsi pameran yang muncul, terlebih pameran yang dihadirkan adalah seniman yang telah tiada. Inilah mengapa alasan keterhadiran atau keberadaan karya seniman itu, sangat melekat pada arah kuratorial yang direncanakan galeri, dalam hal ini Jogja Contemporary. Terkait hal ini, aku tak banyak ambil pusing. Namun, pertanyaan berikutnya adalah, jika catatan kuratorialnya sengaja menyuguhkan deskripsi singkat keterhubungan Ahmad Sadali dan Fadjar Sidik, hal mana salah satu alasan keberadaannya atau alasan keberdampingan karya keduanya di pameran tersebut, adalah menyoal spiritualitas dalam karya seni. Maka menjadi penting untukku bertanya, spiritual apakah yang dimaksud? Jika harus diamini apa yang diungkapkan Ahmad Munjid, bahwa yang spiritual dalam karya seni dan sastra, adalah yang hakiki. Lantas, kehakikian yang manakah, yang diidap -karya-karya- Ahmad Sadali dan Fadjar Sidik?

**

Jika hendak kusederhanakan, maka perkembangan sejarah seni lukis adalah akumulasi penyangkalan. Baik media, bahan maupun tehniknya, semisal ketika tren fresco sebagai anak tradisi Gothik, digantikan oleh munculnya Renaisans dengan cat minyak dan kain lena –kanvas-. Di kemudian hari, seperti diceritakan Walter Benjamin, ketika reproduksi piktoral fotografi berangsur mengalahkan upaya litografi,[2] hingga lukisan-lukisan realisme yang pernah dimanifestikan Gustave Courbet, usut punya usut menggoda Paul Cezanne dan para pelukis lain memunculkan impresionisme, disusul post-impresionisme, kubisme, ekspresionisme. Gerak penyangkalan, kalau bukan spenuhnya dialektis ini, berlaku pula pada konsep-ide maupun konteks sosial-ekonomi dan politik. Katakanlah coba kita tarik mundur dari medio 1950–1960an, persis di jaman tren Pop Art, lewat brillo box-nya Andy Warholl maupun Ekspresionisme Abstrak, semisal ala Jackson Pollock yang akhirnya tidak lepas dari akar perang dingin melawan realisme sosialis. Namun sendirinya hal itu tidak lepas dari upaya Neo-dada dalam bereksperimen menandingi abstrak secara luas. Kendati sebelumnya Marcel Dunchamp memang berhijrah dari Eropa ke Amerika, neo-dada tidak bisa dikatakan melanjutkan kisah peyangkalan dadaisme yang khas dalam sejarah eropa atas zaman perang dunia pertama yang melahirkan luka-luka, maupun upaya kritik alias guncangan untuk kalangan borjuasi: epater le bourgeois. Mundur lagi ketika surrealisme yang mulai meremehkan rasio dan kesadaran yang sebelumnya masih terus diagung-agungkan, hal mana memberi banyak sanggahan pada segala gaya sebelumnya yang masih sering berpijak pada kesadaran, baik ekspresionisme, mundur hingga romantisme yang taruhlah ketika Eugene Delacroix dan Fransisco de Goya membawa pesan-pesan kemanusiaan, dan memancarkan penghargaan terhadap manusia selaku individu ditengah kapitalisme, lewat gerigi revolusi industri yang mendorong gerak sejarah. Penghargaan Individu inilah, yang ketika ditarik mundur lagi, tidaklah lepas dari semisal ketika Jacques Louis David melahirkan neo-klasikisme dengan mengusung representasi tokoh-tokoh dan nilai persitiwa bersejarah yang dianggap penting. Begitu pula ketika sebelumnya, tradisi barok dipecah antara yang sekuler alias rokoko, dengan yang masih bersetia menjaga tradisi lukisan religius gereja. Dalam kasus tersebut memang menjadi salah satu bukti bahwa persoalan spiritualitas, dalam arti khusus pada tafsir keagamaan pernah mengawali dunia lukis kita. [3] Namun apakah spiritualitas serta merta berarti persoalan religiusitas-agama semata? Kalau jawabannya iya, tentu tak ada spiritualitas bagi mereka yang memilih sekuler sebagaimana rokoko, renaisans, romantisisme dan anak turunnya dalam sejarah seni rupa modern hingga postmodern sekalipun, tak terkecuali aliran abstrak yang diusung Ahmad Sadali dan Fadjar Sidik. Sedemikian mudahkah?

Demikianlah telah kusinggung gerak penyangkalan dalam sejarah seni lukis kita, yang memang bias euro-amerika. Namun sejarah seni rupa mustahil memisahkan dari konteks sosio-politik dan ekonomi itu sendiri, yang pada akhirnya tidak bisa begitu saja menyamakan sejarah seni rupa euro-amerika dengan sejarah seni rupa Indonesia. Namun bukan berarti kita bisa berlepas diri dari sejarah euro-amerika, sejauh gelombang kolonialisme itu sendiri.

Akhirnya sebelum mencoba memberi jawaban. Penting untuk memahami keberjumpaan Ahmad Sadali dan Fadjar Sidik di Jogja Contemporary. Semata-mata jelas bukan sekedar membantu melegitimasi kuratorial dalam pameran tersebut, ataupun memberi alasan atas dihadirkannya karya-karya dari dua seniman yang mewakili dua seniman cum dosen dari dua kampus seni yang berbeda itu. Semata-mata sebagai langkah dalam kritik seni, lebih penting untuk memahami keduanya, mencoba menyukainya dan meyakininya sebagai fenomena penting yang layak dijelaskan.[4]

Tajali dalam Ahmad Sadali

Karena lahir lebih dahulu ketimbang Fadjar Sidik, maka lebih nyaman buatku jika memulai dengan menyinggung maestro kelahiran Garut, kurang lebih sembilan puluh tiga tahun yang lalu ini, tepatnya tanggal 29 Juli. Dalam katalog Biennale tahun 1984, tiga tahun sebelum kepulangannya ke rahmatullah akibat serangan jantung, tampaklah wajahnya bermisai dengan lirikan mata di balik kacamata, berada di halaman ketiga, persis setelah halaman sambutan direktorat jenderal kebudayaan dan halaman pengantar dari ketua Dewan Pekerja Harian dari Dewan Kesenian Jakarta, Sudarmadji.[5] Saat kubuka halaman berikutnya, kutemukan Agus Djaya dan pada urutan seniman kesembilan, bertemulah pandanganku dengan Fadjar Sidik, dan seterusnya hingga total sekitar 28 nama, wajah dan foto karya seniman. Singkatnya sudah kutemukan bukti otentik perjumpaan Ahmad Sadali dengan Fadjar Sidik di sini. Dalam pameran Biennale VI-1984 inilah pula, baik Sadali maupun Fadjar Sidik terbukti pamer bentuk-bentuk lukis abstraknya.

Memang Lukisan Ahmad Sadali yang dipajang di Jogja Contemporary berjudul: Two Forms (Magna di atas kanvas), Blue Colony (Magna di atas kanvas), dan tak berjudul (Akrilik di atas kanvas), yang kesemuanya abstrak dan dilahirkan pada tahun 1984. Sedangkan lukisan di katalog Biennale VI Jakarta itu, hanya kutemukan dua gambar, yang mana sebenarnya terdapat lima lukisan tak berjudul, salah satu ciri khas Sadali yang pernah menghendaki lukisannya berbicara sendiri. Menariknya, baik karya yang muncul di dalam Biennale VI Jakarta dengan yang dipamerkan di Jogja Contemporary, kesemuanya masih dalam tarikan nafas abstrak yang sama, bahkan di angka tahun yang sama. Berati dapatlah ditarik dugaan bahwa produktifitas Ahmad Sadali terbilang pesat,[6] di tengah kesibukannya mengajar di ITB. Bahkan sampai tahun itu, dia pernah menjabat mulai dari ketua jurusan seni rupa selama tiga angkatan, kemudian disusul sebagai pembantu rektor dan sekertaris selama dua angkatan.[7]

Ahmad Sadali sendiri dikenal sebagai pemula tradisi abtrak di Indonesia, selain itu bersama But Mochtar, Mochtar Apin dan Srihadi Soedarsono, ia menjadi generasi pertama sekolah seni Bandung. Nantinya di tahun 1953 menjadi pelopor pengajar pendidikan seni di ITB, apa yang kemudian secara simplisistik dipanggil dengan nama “Mazhab Bandung”. Pandangan naïf yang terlanjur dipahami dengan tuduhan western-centric atas pendidikan lukis di Bandung, atau secara sarkastik disebut Trisno Sumardjo sebagai Laboratorium Barat.[8] Demikianlah ketika melihat Ahmad Sadali, tentu mudah saja menuduhnya ke dalam kerangka itu, terlebih melihat dirinya sebagai murid Ries Mulder, pelukis Belanda yang mengajar di ITB. Tak mengejutkan memang, jika dalam perkembangannya ITB dikenal kuat dari segi pengajaran teori seni, yang mudah dirunut sebagai warisan pendidikan kolonial disana. Menariknya stereorip sekaligus labeling ini diperlawankan dengan kampus ASRI dan kelanjutannya, yakni ISI Yogyakarta yang di-mazhab jogja-kan dalam kredo realisme sosial dan kerakyatan, parahnya ditambahi kesan lemah teori. Aku mengira bahwa upaya membaca Ahmad Sadali dan Fadjar Sidik kali ini menjelma revisi atas mitos basi dua kutub itu. Kendati perlu bagi kita buat menunjukkan bahwa perkembangan sejarah seni rupa meniscayakan friksi dalam perjumpaan antara produk pendidikan seni Jogja dan Bandung. Atau seperti distilahkan Claire Holt bahwa Bandung “lebih melihat keluar”, dengkan Jogja melihat ke dalam dan keluar”. Hanya saja, di tengah obrolan kita yang masih hangat seputar internasionalisme baru hari ini, bukankah dua yang dimazhabkan itu kian tidak relevan? Menyesatkan jika dua kampus itu masih dipahami dalam oposisi kebarat-baratan (teoritik) vs keindonesiaan/kerakyatan (minus-teoritik).

Begitupun ketika dengan mudah, para kritikus menilik Sadali dengan nilai religius, yang berujung pada pemaknaan spiritualitas dalam religius islam. Memang hal ini beralasan dari karyanya yang sejak judul saja, telah bernuansa Islam, misalnya dalam karya: Ayat-Ayat Al Qur’an (1967) dan Surat 110: An Nashr Ayat 3 (1986),[9] lebih-lebih kalau dirunut dari latar belakang ayahnya yang tokoh Muhammadiyyah cabang Garut.[10] Belum lagi ketika Sadali bersama A.D. Pirous digadang sebagai pelopor lukisan kaligrafi. Aku kian kaget ketika menelusuri bahwa logo dari HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), organisasi mahasiswa Islam yang sampai hari ini besar namanya hingga di jajaran elite politik praktis, rupanya tak lepas dari tangan Ahmad Sadali. Di kampus yang diampunya sendiri, Ahmad Sadali juga terlibat aktif dalam aktivitas Masjid Salman, Masjid yang dahulu pernah turut dikonsepkan bersama adiknya, Ahmad Noe’man yang dikenal sebagai arsitektur masjid kampus ITB itu.[11] Bahkan Sadali sendiri merupakan salah satu inisiator UNISBA (Universitas Islam Bandung). Namun adilkah jika hanya menarik kesimpulan atas karya Sadali sebatas pada religius-Islamnya saja? Senada dengan ini pernah Popo Iskandar bertanya: “Kendati pun banyak orang yang tahu tentang latar belakang kehidupan pribadi Sadali yang dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang taat beragama, kendati pun banyak yang tahu bahwa ia seorang yang hidupnya bergelimang dalam suasana keagamaan, namun sampai di mana jauh karya-karya Sadali bertautan dengan nafas-nafas keagamaan?[12] Memang kemudian Popo mengakhiri dengan kesimpulan bahwa Seni Rupa Sadali adalah manifestasi rasa syukur dalam Islam. Bahkan lebih jauh kemudian, karya Sadali diakui umum maupun dirinya sendiri sebagai sikap spiritual dalam pencarian Tuhan dan yang diilhami konsep “tasawuf” dan sikap melukis yang berdasarkan metode “zikir” dalam Islam.[13] Padahal, kendati selalu dikembalikan pada nilai Islam, Jim Supangkat meyakinkan bahwa Ahmad Sadali adalah peletak dasar modernism seni lukis Indonesia. Modernisme Sadali bertolak dari potensi kreativitas manusia dalam proses penciptaan yang berdasar pada Pikiran, Kepekaan (rasa dan perasaan), dan Iman, melazimi hakikat manusia yang paripurna (Ulul Albab).[14] Sampai disinilah dapat kutemukan yang hakiki dari setiap manusia tentang kesejatian potensi Pikiran, Kepekaan dan Iman yang azali dalam setiap diri manusia, ketimbang berhenti pada label agama semata.

Dalam karya Two Forms dengan ukuran 59,5x61 cm, sebagaimana judulnya, tampak dua sosok bentuk persegi panjang tak presisi berwarna merah terang dengan ukuran lebih kecil di atas dan lebih besar di bawah. Masing-masing berlatar hitam mengelilingi, kemudian latar terakhir adalah abu-abu dengan pemisah lingkaran-lingkaran semacam titk-titik emas di bagian atas, lalu di batas antara persegi panjang kecil di atas, dan persegi panjang besar di bawah. Kesemuanya menjadi sebuah bidang terang yang dipisah. Begitupun dalam karya Blue Colony yang berukuran tak jauh beda dengan Two forms, yakni 50,5x58 cm. Blue Colony menampakkan sosok persegi tak presisi yang berwarna biru terang dengan tekstur yang diakibatkan sapuan kuas sehingga tampak bergejolak. Gejolak biru itulah yang kukira sebuah koloni, yang dibubuhi dua garis berwarna emas tebal yang bersambung-berhimpitan, meliuk-liuk dengan latar coklat gelap dan hitam pekat. Sedangkan pada karya yang tak berjudul, masih setia dalam figur persegi, yang kali ini terdapat bujur sangkar di bagian atas, lalu di bagian tengah persegi panjang dan di bagian paling bawah persegi panjang, yang kesemuanya sejatinya seperti hasil dari warna dasar hitam. Disusul yang menjadi latar luar adalah sapuan warna putih yang samar-samar yang membelah-belah bidang hitam menjadi tiga, dan menghasilkan citra tiga figur persegi tak presisi itu tadi. Sedangkan di tiap persegi tak presisi tadi memuat goresan-goresan warna putih dan merah marun, dimana ketiga sosok hasil belahan bidang itu, terdapat sosok warna biru muda yang sepertinya ditumpuki warna emas, sehingga warna biru muda hanya muncul di sisi-sisi sosok berbentuk sentuhan tak beraturan bewarna emas.

Ketiga karya di atas bisa ditilik mengikuti Sanento Yuliman yang menjelaskan tiga hal pokok dalam karya Ahmad Sadali, meliputi: Sosok, Latar dan Format Bidang. Dari sini Stanislaus Yangni menambahkan bahwa kalau dilihat dengan cermat, pengolahan tiga hal itu tampak dalam tekstur, garis, komposisi, maupun judul-judul lukisan ala Sadali: Bongkahan, Jajaran, Susunan, Dataran, Gunungan, dsb, hingga tampak di sana efek lelehan, bercak, lapukan, patahan, karatan, pecahan, sobekan, dan lipatan.[15] Inilah mengapa dikatakan bahwa karya-karya Sadali berbicara tentang ketajaman rasa, dalam mengolah bahasa ruang dan bahasa indera, demi melatih pencerapan visual kita.[16] Dapat pula kurujuk dari dua karya tadi (Two Forms dan Blue Colony) yang memang menampakkan warna yang kuat diperjelas dengan judul yang merujuk langsung pada relasi antara sosok, latar, dan format bidangnya. Stanislaus Yangni menyebutnya sebagai kegamblangan Sadali, yang menuntun sesiapa yang melihat karyanya dengan seksama, menjelajah lebih jauh wilayah zikir: yakni mengenal persepsi rasa, daya cerap indera kita –melihat sungguh-sungguh dan perlahan satu demi satu- melalui garis, tekstur, bidang dan warna dalam lukisannya.[17] Sampai disini kutemukan ketersingkapan, keterbukaan Ketuhanan, alias Tajali, dari karya Sadali. Tajali hakikat Pikiran (ide), Kepekaan dan Iman.

Dalam ketiga karya abstraknya yang terpampang di tembok Jogja Contemporary, sangatlah tampak kesan warna yang kuat. Tentu dapat dikaitkan dengan karya di dekade sebelumnya, misalnya pada pameran yang berlangsung di TIM, 6–12 Desember 1972. Lewat 27 lukisannya, Ahmad Sadali menampakkan warna emas, sebagai perkembangan dari warna kemerah-merahan dalam periode sebelumnya, lalu keabu-abuan pada tahap awalnya, bahkan oleh Popo Iskandar disebut sebagai kolorist yang cemerlang. Popo merasa bahwa inilah yang menunjukkan kesungguhan, kecermatan dan ketercayaan sebagai bakat yang lahir dari latar belakang kegiatan artistik keluarganya yang mengerjakan batik dan percetakan. Berlatar belakang pengalaman itulah, lebih jauh ditafsirkan Popo Iskandar sebagai suatu virtuositas Sadali dalam menggunakan semua alat dan bahan sesuai kehendaknya.[18] Walaupun demikian, ada sedikit kritik Popo Iskandar, bahwa di dalam karya Sadali saat itu, masihlah terdapat unsur kubistik dengan geometris abstrak. Unsur tersebut cenderung didapat dari gurunya Ries Mulder, yang terpengaruh Jacques Villion alias Gaston Duchamp, seorang pelukis penganut kubisme asal Perancis, kakak tertua Marcel Duchamp. Popo sendiri melihat adanya semangat matematis dalam karya Sadali waktu itu, yang dituangkan dalam ritmik garis ala Villion. Bahkan Popo Iskandar menilai bahwa lukisan-lukisan kolasenya yang ada dalam pameran, segera menjadi suatu kelemahan, dan sebagai bukti bahwa Sadali telah kehilangan penguasaan atas imbangan ritmik garisnya.[19] Ketiga karya tahun 1984 tersebut disandingkan di Jogja Contemporary dengan sebuah karya Sadali di periode 1950an. Akupun tergoda untuk menelanjangi Sadali di masa itu, karena teramat pandir menerka perbedaan konsep-ide karya berpijak pada perbedaan tahunnya semata. Maka dibutuhkan konteks jaman dari karya, sebagai pintu pemaknaan.

Perlu diketahui manakala berbicara konteks jaman di tahun 1950an, Amerika sedang gandrungnya aliran ekspresionisme abstrak, yang diusung, semisal oleh Jackson Pollock, juga disusul Willem de Koooning. Sebagai perbandingan, tahun di saat Willem de Kooning melahirkan salah satu karya dari The Woman Series-nya, adalah juga tahun yang sama ketika Sadali mencipta Beurging Schets. Sketsa (Conte di atas kertas) berukuran 24x26cm ini menampakkan figur wanita dengan pakaian bercorak khas, sejenis kebaya yang dipakai sehari-hari, yang barangkali sering dijumpai di pulau Jawa saat itu. Ditampakkan jelas dua sosok wanita sedang duduk, dan seolah sedang tampak asyik membincangkan sesuatu. Sketsa bercorak realis ini berketerangan waktu pembuatan, persis empat hari sebelum ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke delapan. Sayangnya sulit kupastikan dimanakah tempat Sadali mengambil gambar itu. Di hampir sebulan setelah ulang tahun Sadali yang ke 29 itu, sulit kujawab apakah ia sedang liburan setelah kelulusannya atau telah mulai mengajar selaku dosen baru. Mungkin yang dapat kupastikan hanyalah bahwa tahun itu pun Sadali mendapat kesempatan untuk berangkat ke Jepang menghadiri Seminar Regional tentang Seni dan Kriya.[20] Entah lukisan itu dibuat sebelum berangkat ke Jepang atau setelahnya. Yang pasti setahun sebelumnya ia masihlah mahasiswa yang karya lukisnya mendapat hadiah dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).

Setelah tiga tahun mengajar, Ahmad Sadali mendapat beasiswa dari Rockefeller Foundation untuk berkuliah di Amerika, yakni di Departement of Fine Arts, University of Iowa dan New York Arts Student League. Dan setelah setahun disana, kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1957, disusul mendapat hadiah dari STICUSA untuk berkunjung ke Belanda. Baru kuperkirakan dia kembali ke Indonesia dan melanjutkan posisi mengajar. Menjelang tahun dilaksanakannya pemilu pertama di masa Orde Baru, ia mendapat undangan bekerja di New York-City. Ketika Sadali ke Amerika itulah, bersamaan persis dengan maraknya ekspresionisme abstrak, yang mana mempertemukan Sadali dengan karya Mark Rothko yang kemudian memepengaruhinya, disusul Antoni Tapies yang membawa pengaruh abstrak geometris.[21] Perjumpaan itu tidak lepas dari kesempatan berkunjung ke berbagai pustak kebudayaan di Mexico, Eropa, Timur Tengah, dan Timur Jauh (Asia Barat). [22]

Dalam hal politik, memang sulit dipastikan keberpihakannya menjelang masa 1960an, khususnya dengan pecahnya kubu realism sosialis ala Lekra yang dikenal mem-Panglimakan Politik, kemudian sering dihadapkan dengan mereka yang menolak, khususnya penandatangan Manifesto Kebudayaan, seperti A.D. Pirous selaku kolega Ahmad Sadali. Mulai setelah masa inilah, disusul banyak pengalamannya ke luar negeri, perlahan Ahmad Sadali mulai bergeser pada penemuannya dalam bentuk-bentuk abstrak. Menjelang dekade 1970an, Sadali menempuh banyak pencapaian dalam karyanya, dan tak heran di tahun 1974, ia mendapat kategori lukisan terbaik dalam Biennale Seni Lukis Indonesia. Menariknya hal tersebut bersamaan dengan munculnya gerakan protes yang dikenal dengan Desember Hitam. Dimana menjadi tonggak penting bagi arah seni rupa kemudian, khususnya dengan lahirnya “Gerakan Seni Rupa Baru” dan pameran perdanannya di tahun 1975 yang bertajuk “Pasaraya Dunia Fantasi”.[23] Di tahun berikutnya, Ahmad Sadali memperoleh kategori lukisan Terbaik dari DKJ, berdasarkan keputusan dewan juri yang dikeluarkan pada 24 desember 1976, untuk lukisannya berjudul: Lukisan 1,[24] Di tahun berikutnya, tahun ketika protes PIPA (kepribadian apa) muncul di Yogyakarta, adalah tahun ketika Ahmad Sadali mendapat hadiah kategori lukisan terbaik pula dari DKJ, hingga mendapat hadiah dari pemerintah Perancis untuk kunjungan di Paris dan kota-kota lain di Perancis. Kunjungan semacam ini bisa dibilang menjadi perlawatan mengamati perkembangan seni, demikian pula tiga tahun kemudian ketika Sadali menimba pengetahuan di kota budaya Lahore, atas hadiah dari Pemerintah Pakistan. Dari deskripsi terakhir ini, tampaklah kembali buatku: Tajali, sebagai ketersingkapan hakikat Tauhid, sekaan secara lugas dialirkan Sadali,baik melalui karya maupu kiprah sosoknya yang dinamis dalam sejarah seni rupa Indonesia

Mozaik dalam Fadjar Sidik

Kala itu bulan Januari tahun 2004. Ketika meminta izin ke kamar kecil, diam-diam membuka tempat makanan di ruang belakang. ”Ternyata, memang hanya ada sepotong telur. Berarti kan memang dia sedang nggak punya uang”.[25] Hal itu diucapkan Nasirun, seorang pelukis kenamaan yang dengan bangga mendaku sebagai murid Fadjar Sidik yang hidup sederhana itu. Nasirun mengakui bahwa dua minggu sebelum meninggal, dia diminta berkunjung ke rumah gurunya itu. Ketika Nasirun diminta memijit, Fadjar Sidik bercerita soal kesehatannya yang menuntut cuci darah. Obrolan antara guru yang mendekati ajalnya dengan murid kesayangannya itu berujung pada dipasrahkannya beberapa karya sang Guru pada murid. Dalam episode inilah, tampak kemesraan guru dan murid, yang hematku menjadi spiritualitas tersendiri dalam pendidikan (kedekatan Guru dan Murid)?!

Seperti halnya Sadali, ada empat karya Fadjar Sidik yang dipamerkan di Jogja Contemporary. Adapun kesemuanya tercatat sebagai daftar koleksi Nasirun. Selain Nasirun, karyanya juga dikoleksi Oei Hong Djien dalam Museum OHD-nya di Magelang. Layaknya Sadali, Fadjar Sidik sendiri diakui kepeloporannya dalam duni lukis Indonesia, khususnya di bidang Abstrak. Bukti yang tak terbantahkan adalah dengan adanya peresmian Galeri Fadjar Sidik di kampus ISI-Yogyakarta, februari lalu, persis bertepatan pada ulang tahun ke-67 kampus tersebut.[26] Memang maestro abstrak Indonesia satu ini adalah guru besar di kampus ISI, dan telah mengajar sejak kisaran tahun 1966, bahkan di 1967 telah menjadi ketua jurusan, ketika masih bernama ASRI. Kala itu tak lama setelah pembantaian besar-besaran elemen komunis di Indonesia 1965–1966. Salah satu ideologi partai politik yang kala itu selalu dikaitkan dengan beberapa kelompok seniman, khususnya terafiliasi dengan Lekra, kendati secara struktural sama sekali tidak ada bukti keterkaitan yang meyakinkan, kecuali hubungan bersifat personal.[27] Adapun salah satu politik seni rupa Lekra adalah mendekatkan berbagai seniman dengan arah realisme sosialis, yang pada kenyataanya didukung oleh PKI.[28]

Pada awal medio 1960an memang terjadi kedekatan seni dan politik, dimana Lekra sering dikenal mempanglimakan politik, dan seni adalah medium propaganda. Dalam hal ini, seperti diakui Misbach Thamrin, salah seorang pendiri sanggar Bumi Tarung, menyebutkan bahwa Fadjar Sidik sejak awal tidak tertarik dengan kubu Lekra, namun bukan berarti memutus hubungan, perilaku yang juga dilakukan kawannya: Abas Alibasyah dan Eddy Sunarso. Memang Bumi Tarung terang-terangan pasang badan sebagai organ di bidang seni rupa yang resmi di bawah Lekra. Sehingga Bumi Tarung sangat lantang menyuarakan Politik sebagai Panglima seni rupa. Hal yang berbeda dengan Sanggar Pelukis Rakyat yang independen, kendati banyak anggotanya yang berafiliasi dengan Lekra.[29] Jika ditelusuri, belasan tahun setelah kelahirannya di Surabaya pada 8 Februari 1930, Fadjar Sidik menyelesaikan SMP dan SMA-nya untuk kemudian berangkat kembali ke Yogyakarta. Terakhir kali ke Yogyakarta adalah saat masa kecilnya bersekolah di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Muhammadiyah Ngupasan.[30] Pada kedatangan kedua inilah, selain mendaftar kuliah di UGM untuk jurusan sastra dan pedagogik yang waktu itu masih berlokasi di daerah Wijilan, ia juga tergoda dengan dunia seni beserta pelukis-pelukisnya yang pada waktu kecil pernah dibacanya dari majalah Orient (1922–1942) dan Djawa Baroe (1943–1945). Barulah Fadjar Sidik bertemu dengan Hendra Gunawan di Yogyakarta, pengasuh Sanggar Pelukis Rakyat yang didirikannya bersama Affandi kurang lebih lima tahun sebelumnya. Barangkali atmosfir inilah yang dua tahun kemudian mendorongnya berpindah ke kampus tak jauh dari Wijilan, arah ke barat laut, tepatnya wilayah Gampingan, letak kampus ASRI. Terlebih secara konteks medio 1950an, dalam proses belajar seni di Sanggar Pelukis Rakyat memungkinkannya berkenalan dengan milleu Hendra Gunawan, seperti Sudarso, hingga tentunya Sudjojono, maestro yang kala itu dewan pusat anggota PKI.

Memang Sanggar Pelukis Rakyat, tidak seperti Lekra yang tampak demikian dekat dengan PKI, namun tidak jarang Lekra mengagumi hasil karya sanggar Pelukis Rakyat yang dianggap merepresentasi jiwa keindonesiaan. Kendati Hendra Gunawan adalah Ketua Lekra Jawa Barat, tidak pernah dia mengafiliasikan sanggar didikannya dengan Lekra. Dan memang sebelumnya, Hendra telah lama setia dengan karakter kerakyatan dalam obyek-obyek karyanya, hal yang sedikit-banyak mengembrio Fadjar Sidik. Adalah kondisi karya seni dan senimannya yang kian sarat dengan propaganda ideologis inilah, yang kukira menggoda Fadjar Sidik untuk mengasingkan diri keluar Jogja. Maka pada 1957, berangkatlah Fadjar Sidik ke Bali untuk menetap selama lebih dari tiga tahun. Di Bali ia berkawan dengan Alimin, Sri Widodo dan O,H, Supono. Putrinya menyebutkan bahwa Fadjar Sidik singgah di desa Campuhan untuk mengolah obyek lukisannya, dan bertempat di kediaman Arie Smit, seorang Belanda, yang pernah menjadi pengajar grafis dan litografi di ITB.[31] Tetapi Imajinasiku tergoda untuk membayangkan Fadjar Sidik mencari Nyoman Lempad di Ubud, dan berdiskusi. Bukankah demikian intim, membayangkan seorang seniman muda menjelang tiga puluhan tahun, bertemu dengan seorang maestro dijelang usia seabad. Bukan apa-apa, tetapi ketika memperhatikan kedua karya sketsa Fadjar Sidik di Jogja Contemporary, aku sungguh terpancing menyejajarkan dengan karya Nyoman Lempad. Terbukti ada kesamaan media kertas, kendati Fadjar sidik menggunakan pensil dan Nyoman lempad memakai tinta cina. Jika Nyoman lempad dalam hal realis, cenderung lebih presisi dari segi objek manusia yang digambarkan, maka dalam sketsa Fadjar Sidik cenderung impresionistik/ekspresionistik, kalau bukan pengaruh Hendra Gunawan.

Sebelumnya, memang sulit memastikan apa saja yang dijelajahi Fadjar Sidik selama di Bali, namun memang di Bali saat itu sudah tidak ada Marcel Bonnet maupun Walter Spies yang dianggap sebagai pelopor renaisans Bali, dalam arti mengusung sebuah corak kesenian lukis khas bali.[32] Dalam Sketsa satunya yang berukuran 29x19,5 cm, Fadjar Sidik kembali tak memberi judul dan juga tak berketerangan tahun. Di dalam sketsa tersebut tampak gayanya mendeformasi anatomi tubuh, yang mana hal ini bisa dilihat sebagai pengaruh Hendra Gunawan. Pakaian sehari-hari bercorak kedaerahan, tubuh tak lagi proporsional, melainkan deformatif, mengalami pergeseran bentuk, bahkan lebih jauh telah melampaui realism, dan menjadi tampak surealis dalam arti pemanjangan dan pembengkakan di beberapa bagian tubuh.[33] Stanislaus Yangni menilai bahwa dalam figur yang ditawarkan Hendra, terjadi pemanjangan (elongation), yang mengisyaratkan dan menghadirkan kekuatan rakyat yang tak kelihatan (invisible): Kekuatan bukan dalam arti sosial melainkan suatu indivisu yang survive alias bertahan hidup. Dalam hal inilah, kukira mudah menyejajarkan Hendra Gunawan dengan Fadjar Sidik, dimana dalam hal realis, mereka masih membawa semangat kerakyatan yang survive menghadapi jaman.

Namun melihat sketsanya dan membayangkan Fadjar Sidik menempuh persinggahan dan pencarian artistik di Bali menjadi hal yang memang tidak bisa dilepaskan dari warisan naturalisme, seperti disinggung Agus Burhan di hari pertama sesi diskusi. Dalam karya sketsa yang menampakkan Pura yang berjudul (Bali), lewat Pensil di atas kerta berukuran 33x21cm, menunjukkan upaya Fadjar Sidik menjawab kerinduannya pada corak lukisan semacam itu. Selain itu Agus Burhan berasumsi bahwa Fadjar Sidik enggan menerima kenyataan yang hilang, dia masih ingin menggali realisme, yang menurutnya masih ada di Bali. Namun agaknya realisme yang dimunculkan Fadjar Sidik bukanlah mooi indie. Kondisi Bali yang menjadi tujuan turis asing, dan kenyataan Bali, yang ditemukan Fadjar Sdik, semacam pengolahan rasa asing dan rasa asli kita, selaku upaya mencari jati diri Indonesia seperti yang pernah digemakan Sudjojono.[34] Adapun dari cara Fadjar Sidik, asumsiku adalah bagaimana sketsa itu memunculkan sosok wanita berpakaian seperti kebaya khas Indonesia dan memakai kain bercorak, seperti batik, sedangkan seorang ibu duduk memangku anaknya yang telanjang, termasuk kedua anak di sisi kiri dan kanannya yang juga bugil. Inilah potret Indonesia di Bali, di jaman Soekarno, sebuah ketelanjangan di atas tradisi budaya yang ada, yang dapat dimanifestasikan dalam representasi Pura Bali yang seakan menyiratkan ketenangan yang disketsakan di atas kertas berukuran 33x21cm. Kukira disinilah Fadjar Sidik menunjukka gaya sketsanya, yang konon banyak sktesanya pernah muncul di majalah Siasat, Orientasi, Mimbar Indonesia, Zenith. Lantas bagaimana Bali beberapa tahun kemudian, jelas sekali tak lepas dari pembantaian besar-besaran mereka yang dianggap simpatisan komunis.[35] Di sinilah kukira apa yang ditampakkan Fadjar Sidik kemudian menjadi potret tersendiri realitas manusia indoensia sesaat sebelum prahara. Akhirnya Fadjar Sidik memang kembali ke Yogyakarta, setelah diajak Abas Alibasyah pulang ke jogja. Dan tak berapa lama setelah G30S, dia mulai aktif mengajar di ASRI. Barangkali oleh sebab berkurangnya banyak dosen yang dicap kiri, terbukti adanya penangkapan seniman-seniman yang dianggap berhaluan komunis, maka terjadi banyak kekosongan jabatan pengajar.

Akhirnya realisme sosial menjadi salah satu penggerak sejarah seni rupa Indonesia, khususnya sejak revolusi agustus atau revolusi kemerdekaan hingga diberangusnya Lekra pada 1965–1966. Akan tetapi, berlebihan jika kemudian segala yang realisme sosial selalu dinisbatkan pada Lekra semata. Bahkan realism sosial, adalah diplatformkan pada PKI. Stigma ini membuat kondisi seni rupa pasca 1965 demikian menyembunyikan kecenderungan yang pernah ada (reliasme sosialis), sehingga tidak terus terang dan menyembunyikan suatu kenyataan sejarah, hal yang disitilahkan Joebaar Ajoeb, salah seorang mantan sekjen Lekra, sebagai menggerhanakan diri dalam sebuah gerhana.[36] Akhirnya realisme sosial mengalami penurunan, bersamaan dengan naiknya abstrak. Sebagai konteks, ketika Fadjar Sidik mulai beralih ke gaya abstrak, saat itulah Andy Warhol mulai bermain-main dengan lukisan Coca-cola hingga Marilyn Monroe. Memang dalam periode 1960an hingga 1970an, Fadjar Sidik mulai memantapkan bentuk abstraknya. Suatu pengalaman tersendiri jika membayangkan apa yang dirasakan Fadjar Sidik setelah mengalami lompatan jaman dari masa Soekarno ke Masa Soeharto yang melewati prahara, dan berangsur dijemput kegelisahan menghadapi pembangunan. Pernah Fadjar Sidik berujar: “Keindahan rakyat atau keindahan alam yang saya lukis telah berubah. Menurut saya, ada dikotomi estetik antara produk teknologi dan alam. Saya senang menggunakan produk teknologi sepeti TV atau mobil, dan memang bagus, tapi saya tidak bisa menggambar TV atau mobil dalam lukisan saya. Ada keterbelahan estetis kalau saya menggambarkannya. Seperti orang membuat pesawat itu, mereka tidak meniru sesuatu, tetapi membuat bentuk sendiri. Saya ini seperti desainer, membentuk sesuat untuk ekspresi nurani saya, dan mudah-mudahan bisa selaras dengan produk teknologi dan alam.” [37] Ekspresi nurani inilah yang kiranya hendak diperlihatkan dalam karya Dinamika Keruangan, yakni sebuah keberanian memunculkan mozaik bentuk-bentuk geometris yang terdistorsi dalam susunan warna-warni serta kombinasi yang kadang arbitrer.

Namun, menurut Sanento, jelang tahun 1968, karya Fadjar mulai benar-benar membuang bentuk hewan, cintraan-citraan makhluk hidup dalam bentuk-bentuknya, dan bergeser ke bentuk-bentuk ruang dasar seperti segitiga, persegi panjang, bujur sangkar, lingkaran, trapezium, belah ketupat dan jajaran genjang.[38] Alhasil Fadjar Sidik lebih banyak bermain di ranah komposisi dan warna, ketimbang latar belakang maupun obyeknya. Penggunaan bidang-bidang geometri dasar inilah yang menurut Stanislaus Yangni -mengamini apa yang dikatakan Fadjar Sidik sendiri- sebagai desain ekspresif, dimana susunan bentuk dan warna yang berulang atau repetitif inilah yang menjadi benang merah terkait dimensi ruang dalam lukisannya. [39] Dalam lukisan abstrak Fadjar Sidik yang kuamati di Jogja Contemporary, terpajang Dinamika Keruangan 1974 dan Dinamika Keruangan 1977. Yang masing masing cat minyak di atas kanvas. Pada Dinamika Keruangan 1974 dengan ukuran 44x64 cm, tampaklah mozaik warna dan bentuk yang menjelma satu kesatuan. Karakter dan corak inilah yang pertama kali diperkenalkan dalam periode 1969, yang dinamai Dinamika Keruangan. Penjudulan semacam ini terus berlangsung hingga dekade berikutnya, misalnya dalam BIwnnale VI-1984, dengan Dinamika Keruangan 1, Dinamika Kerungan 2, Dinamika Keruangan 3 dan Dinamika Keruangan 4.

Pada Dinamika Keruangan 1974, tampak terbagi tiga bidang dasar dengan warna gelap, dengan bagian belahan atas dan bawah berwarna dasar coklat, sedang di tengah berwarna dasar hitam. Masing-masing bidang dikelilingi warna coklat terang kekuning-kuningan. Dan masing masing berisi bentuk-bentuk tak presisi yang umumnya mendekati empat bentuk pola dasar, yakni: segitiga, kotak atau persegi, trapesium dan lingkaran. Adapun pewarnaan bentuk-bentuk kecil yang mengisi tiga bidang dasar tersebut sangat berwarna-warni yang memuat berbagai warna mulai dari biru, kuning, jingga, jambon, hijau, merah, hitam dan coklat. Lalu terdapat bentuk garis melingkar meliuk-liuk yang menyela tiap-tiap susunan bentuk-bentuk warna-warni yang ada di tiga bidang. Begitupun pada Dinamika Keruangan 1977, kendati tidak ada pembelahan bidang dan hanya berlatar dasar warna ungu gelap, tetapi masih bersetia pada penataan bentuk-bentuk kecil berwarna warni, atau lebih tepatnya warna berbeda dengan bentuk sama di bagian lain, dan seterusnya, ataupun bentuk sama tetapi warna berbeda. Hanya memang bentuk-bentuk geometris dalam Dinamika Keruangan (1977) ini cukup presisi, khususnya lingkaran yang diberi warna merah, sehingga tampak menonjol ketimbang bentuk geometris lainnya seperti persegi, persegi panjang, segitiga, trapesium hingga bentuk tak beraturan dan bentuk yang memanjang tak presisi di bagian bawah. Bedanya, dalam lukisan ini penataan warna bentuk geometris kecil-kecil tersebut tidak seacak Dinamika Keruangan 1974, tetapi cukup teratur sehingga seperti susunan dan lapisan warna dalam jajaran bentuk-bentuk geometris. Hanya saja untuk lingkaran, adalah pengecualian, baik warna mencoloknya yang seperti terasing di antara warna gelap, maupun jumlah yang hanya empat buah, yakni tiga lingkaran kecil di bagian tengah dan satu lingkaran agak besar di bagian paling atas, persis di sisi kiri. Di atas lingkaran paling besar itu, tampak latar hitam-keunguan yang buatku ibarat langit malam. Mozaik dinamika inilah yang kukira sejalan dengan pendapat Stanislaus Yangni, bahwa paduan bidang-bidang geometris yang awalnya berkesan kaku, dihidupkan menjadi geometri yang hidup, setidaknya bisa ditilik dari susunan atau komposisi warna. Sampai disinilah, dinamika adalah suatu gerak sifat.[40] Mozaik gerak sifat yang seringkali dijuduli dalam dua kata saja.[41]

Tahun 1974 sendiri, pernah berlangsung Pameran Besar biennale Seni Lukis Indonesia 18–31 Desember 1974, yang diselenggarakan DKJ dengan Fadjar Sidik selaku salah satu dewan jurinya. Menjadi menarik ketika pameran Biennale tersebut menemu protes dari para seniman muda atas karya para finalis yang bercorak dekoratif dan memang dianut seniman-seniman tua. Protes inilah yang berujung pada peristiwa Desember Hitam. Hal ini berbuntut pada skorsing yang dikeluarkan kampus ASRI terhadap Harsono, Bonyong Munni Ardhi, Ris Purwana dan Hardi, selaku penandatangan pernyataan Desember Hitam. Sulit memastikan bahwa Fadjar Sidik selaku ketua jurusan seni rupa, ISI yang juga mendapat kritik dalam peran jurinya di pameran Biennale tersebut, lantas turut andil dalam skrosing tersebut. Namun bisa dipastikan bahwa pada dekade 1970an, kemunculan GSRB pada 1975 dan gerakan yang terus berlanjut hingga 1977, tidak memberi pengaruh berarti bagi gaya atau yang disebut Agus Dermawan sebagai kaidah konvensional pelukis-pelukis tua, termasuk Fadjar Sidik itu sendiri.[42]

Belasan tahun kemudian, Fadjar Sidik kembali sibuk sebagai juri festival seni rupa, yakni Biennale Seni Lukis Yogyakarta (BSLY) kali pertama (1988), kedua (1990) dan ketiga (1992).[43] Dalam katalog pameran BSLY ketiga itu sendiri, Fadjar Sidik melakukan kritik terhadap arah karya seni yang mengikuti selera pasar, khususnya di tengah maraknya pembangunan dan pariwisata (kapitalisme). Seperti dikutip Galatia Puspa Sani dari katalog BSLY II 1992, muncul kalimat Fadjar Sidik: “Dari kondisi yang cukup baik ini apa imbalan yang bisa diharapkan mengenai mutunya? Kalau sekedar mengenai indah jeleknya bisa diserahkan kepada penggemar lukisan”.[44] Namun menarik ketika kemudian saat dibukanya pameran BSLY III tersebut, muncul sebuah pameran tandingan, yakni Binal Eksperimental Art. Binal memang lahir sebagai kritik atas sistem seleksi seniman yang membatasi pada umur 35 tahun juga yang digawangi diantaranya Dadang Christanto, Heri Dono, Ong Hari Wahyu, dan Edie Hara. Tamparan keras Binal pada sistem penjurian dan seleksi karya BSLY III ini, mau tidak mau mengarah pula pada Fadjar Sidik. Bagaimanapun kritik ini kemudian menghasilkan beberapa perubahan, termasuk pada 1994 ketika berubah nama menjadi Pameran Rupa-Rupa Seni Rupa, serta terjadi pergeseran dengan adanya istilah tim kurasi menggantikan istilah dewan juri, lalu diperlebarnya seleksi peserta dengan dihilangkan batasan usia, kendati dalam catatan: profesional.[45] Akhirnya, Pameran Rupa-Rupa Seni Rupa berganti nama menjadi Biennale Seni Rupa Yogyakarta ke V (1997) hingga yang ke VI, setahun setelah reformasi, dimana Fadjar Sidik sudah tidak terlibat dalam kegiatan itu. Nantinya BSRY berubah lagi dan dikenal sebagai Biennale Jogja ke VII, yang baru bisa berlangsung beberapa bulan sebelum meninggalnya Fadjar Sidik.

Menarik dicatat adalah salah satu pameran tunggal terakhirnya, tepatnya di Gedung Seni Rupa Depdikbud, 14–21 Agustus 1991, bertajuk retrospektif 40 tahun. Dalam pameran itu, Fadjar Sidik dinilai Joebaar Ajoeb sebagai pelukis yang berpikir dan bersikap, hal mana diutarakan jelas dalam kanvas dengan lukisan abstrak yang tampak puistis, yakni warna -komposisi warnanya- terolah matang dan artistik laksana kata dalam puisi.[46] Agaknya mantan sekjen penghasung realisme sosialis ini menikmati abstrak Fadjar Sidik yang mana menurutnya adalah sebuah gubahan wajah yang selesai menalari warna dengan nuansanya dan seakan menatanya dalam komposisi seni bidang. Lebih-lebih diyakini Joebaar Ajoeb, seperti halnya Kusnadi, bahwa karya Fadjar Sidik sebagai misteri, yang menampilkan disonansi, soal, keanehan yang ganjil. Joebar pun bertanya: “Pikiran dan sikap apa sesungguhnya yang membingkai lukisan Fadjar Sidik? Apakah memang absurditisme terhadap industri dan produknya yang tak selaras dengan alam?”[47] Hal inilah yang kemudian diyakini Joebaar sendiri bahwa Fadjar Sidik memang melakukan penolakan terhadap industri yang mencederai alam (kapitalisme), disamping menerima dinamika pada ruang yang menampung gerak ilmu dan teknologi (Modernitas). Joebaar sendiri meyakini bahwa memahami karya Fadjar Sidik tidak bisa sepintas lalu, agar bisa menangkap kedalamannya, yakni “estetika yang tidak lagi visual imitative dan total konsumtif.”[48] Inilah kiranya alasan mengapa muncul pernyataan bahwa Fadjar Sidik telah mencapai purity of form atau kemurnian bentuk. Bukan aneh jika Fadjar Sidik menjadi salah satu pelopor penyusun buku panduan tentang nirmana di kampus ISI. Buatku hal ini merupakan spiritualitas tersendiri dalam mozaik pencarian bentuknya selaku seniman, untuk kemudian disalurkan pula dalam kampus seni yang digelutinya selaku pendidik.

Lidah Ular itu…

Wujud fisik Ahmad Sadali dan Fadjar Sidik yang sekarang hanyalah nisan di makam keluarga di Penyingkiran, Garut dan nisan di kompleks makam seniman Imogiri, Yogyakarta. Namun buatku, dengan menemukan jejak-jejaknya dalam pengalaman hidup hingga warisan karya yang kulihat, menjelmakan ziarah keabadian tersendiri. Ziarah keabadian dalam kefanaan di muka bumi. Kini aku kian tergoda untuk menyejajarkan keserupaan pengalaman keduanya, terlebih keduanya masih dalam satu generasi dan hanya terpaut enam tahun dari segi kelahiran. Boleh dikata umur Fadjar Sidik lebih panjang dan menemui masa reformasi. Sedangkan Ahmad Sadali justru berpulang di tengah kuatnya Orde Baru. Bolehlah kumulai dalam soal berpameran tunggal, dimana rupanya Fadjar Sidik tidak sebanyak Sadali. Selain pameran retrospeski 40 tahunnya di Jakarta pada 1990an, Fadjar Sidik tercatat berpameran tunggal pada tahun 1974 dan 1978, dimana dua tahun itulah momen di saat Sadali memperoleh hadiah dari DKJ. Bahkan hingga berpameran di Biennale VI Jakarta-1984 saja, Ahmad Sadali tercatat 14 kali berpameran tunggal di dalam negeri dan 41 pameran bersama di luar negeri. Karya-karyanya tersebar di berbagai kolektor, seperti Oei Hong Djin Museum, Galeri Nasional Indonesia, hingga luar negeri, misalnya Museum Modern Art Fukuoka pada 1980,[49] di samping tentunya di pihak keluarga.

Aku masih belum puas menggali keserupaan. Sebab ada saja keserupaan lain, selaku representasi dari dua kampus seni rupa kenamaan. Terbukti keduanya memiliki latar belakang sekolah kolonial, dimana Ahmad Sadali mengalami HIS Boedi Prijaji di Garut, hingga AMS (Algemeene Middelbare School) di Yogyakarta,[50] sedangkan Fadjar Sidik HIS Muhamadiyah, di Ngupasan Yogyakarta. Di masa dewasa, keduanya sama-sama pernah meninggalkan Indonesia untuk kepentingan belajar. Pada 1953 Ahmad Sadali belajar di kota Iowa dan di kota New York selaku mahasiswa Universitas Columbia dan Arts Student League. Dan kembali lagi ke Amerika dengan beasiswa Ford Foundation pada tahun 1956–1957. Sedangkan Fadjar Sidik, kendati tak sebanyak Ahmad Sadali, namun sewaktu menjadi ketua jurusan di STSRI-ASRI, Fakultas Seni Rupa dan Desain, sempat berkunjung ke kota Auckland, Selandia Baru pada kurun 1968–1970. Kunjungan itu sendiri dilakukan untuk belajar restorasi dan konservasi. Akhirnya baik Fadjar Sidik dan Ahmad Sadali sama-sama mendapat anugrah seni dari menteri pendidikan dan kebudayaan, dimana masing masing berurutan 1971 dan 1972.[51] Sungguh keserupaan yang serendipity.

Persuaan karya antara Ahmad Sadali dan Fadjar Sidik secara khusus, mungkin hanya di Jogja Contemporary, kalaulah sebelumnya, setahuku bersama dengan karya seniman lain, semisal Biennale 1984 dan paling-paling anak ruhani keduanya ada yang sama meringkuk di Museum OHD. Beberapa tahun terakhir, baik Ahmad Sadali maupun Fadjar Sidik telah meramaikan beberapa pameran. Terlebih keduanya dikategorikan sebagai pelopor gaya abstrak di Indonesia. Misalnya pada tahun 2014, Ahmad Sadali berpameran tunggal. Dikuratori Rizki A. Zaelani, Asikin Hasan dan Rikrik Kumara, dipamerkan tak kurang 70 karya Sadali sejak 1949 sampai 1987, tepat di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.[52] Lalu empat tahun sebelumnya, pernah diadakan diskusi mengenang Ahmad Sadali, dimana putra tunggalnya, Dr. Ravi Ahmad Salim menjadi salah satu pembicara.[53] Sedangkan dua tahun kemudian, dikuratori Suwarno Wisetrotomo dan Anusapati, telah berlangsung pameran 10 maestro seni lukis Indonesia, yang memasukkan Fadjar Sidik dan karyanya.[54] Lalu pada tahun lalu, Yuswantoro Adi merayu istri Pak Fadjar Sidik dan berhasil diperbolehkan memboyong karya suaminya untuk hadir di tengah-tengah lukisan para perupa muda, selaku penanda penting dalam sejarah perkembangan seni rupa Yogyakarta.[55] Bahkan bulan Agustus ini, bertempat di Sheraton Grand Jakarta, Gandaria City Hotel, baru saja berlangsung pameran bertajuk Intuition/abstraction: Modern Indonesian Art, yang memajang karya-karya Fadjar Sidik, dan seniman-seniman almarhum lain, seperti Nashar, Zaini, Umi Dahlan.

Dari Karya-karya yang dipamerkan di Jogja Contemporary, sedikitnya muncul kesimpulan terang, bahwa baik Ahmad Sadali maupun Fadjar Sidik, mengalami corak lukisan realis dan corak lukisan abstrak. Maka baik Sadali maupun Fadjar Sidik memiliki rekam jejak realisme sosial, yang kemudian menemu abstrak. Terbukti tampak dalam pameran di Jogja Contemporary, bahwa lukisan dalam periode 1950an, memang cenderung bersifat realisme sosial khas Indonesia. Ahmad Sadali menunjukkan dua sosok wanita sedang duduk, sedangkan Fadjar Sidik menampakkan sketsa pura atap berundak khas bali, disusul lukisan satunya yang menampakkan orang-orang bali yang diwakili wanita berkebaya dan anak-anak telanjang, sebagai citra rakyat Bali kala itu. Sedangkan ketika menyentuh gaya abstrak, keduanya banyak memiliki kesamaan dalam menghadirkan pola-pola dan bentuk. Hal inilah yang kemudian menjadi benang merah penjelas buatku, mengapa keduanya layak dipertemukan. Lebih jauh, ketika keduanya telah didaulat sebagai pelopor sekaligus maestro abstrak Indonesia. Maka buatku, sejarah abstrak kita, dilihat dari Ahmad Sadali dan Fadjar Sidik, memiliki pengalaman berlidah ular. Lidah ular tak ubahnya metafora kebercabangan kalau bukan kemenduaan. Cabang itu adalah abstrak di sisi kanan dan realism sosial di sisi kiri. Abstrak Indonesia dilihat dari Ahmad Sadali dan Fadjar Sidik adalah anak kandung dari lazimnya pelukis Indonesia, pencarian mungkus dalam realisme sosial lalu memilih banting setir dalam abstrak.

Seperti tercatat, pada tahun-tahun setelah lukisan abtraknya terbllang matang, Fadjar Sidik pernah mendesis: “Entah mengapa hasil industry itu banyak yang bentuknya indah dan enak dilihat, tapi tidak untuk dilukis; mereka perlu rusak dulu baru bisa dilukis dan dibuat patung…. Saya kehilangan obyek-obyek pelukisan yang artistic dan puitis. Ah, daripada menggambar obyek-obyek hasil kreasi para desainer industry itu, mengapa tak menciptakan bentuk sendiri saja untuk keperluan ekspresi murni yang bisa memenuhi tuntutan batin yang paling dalam.[56] Kegelisahan ini berujung pada sikap Fadjar Sidik untuk meninggalkan realisme dan mulai menjajagi abstrak, juga pada awal dekade 60an, dan menemu kematangannya yang tercermin dalam karya Dinamika Keruangan (1969). Disinilah, perlu disitir pernyataan Kusnadi, bahwa Fadjar Sidik telah berhasil merangkai motif dari ide abstraknya, seolah-olah menyusun kaligrafi/piktografi atau simbol nada suara dengan kecepatan intuitif.[57] Gerak inilah yang juga berlaku pada Sadali. Terbukti adanya kematangan Sadali dalam lukisan-lukisannya yang konsisten melahirkan bentuk-bentuk abstrak yang khas, dimana bersandar pada kosepsinya tentang Akal/Pikiran, Kepekaan dan Iman. Bukan aneh, jika sekelas Nashar sendiri mengagumi beberapa seniman, termasuk Sadali itu sendiri. Karya-karya Sadali dilihat Nashar justru mengandung nilai-nilai kemanusiaan, dikarenakan karya-karyanya memancarkan dengan kuatnya sikap kata hati yang diperdapatnya dari pengalaman hidupnya sehari-hari.[58] Abstrak Sadali inilah yang justru hendak menyatakan hal-hal yang real yg tampak oleh mata. Pilihan Ahmad Sadali maupun Fadjar Sidik inilah yang menjadi penting bagi daya hidupnya merespon perkembangan jaman. Daya hidup seniman yang buatku sangatlah spiritual. Disini pulalah, yang menurutku sangat penting untuk melihat adanya anomali penting dari aliran abstrak di Indonesia yang sering dinilai sebagai bentuk ekspresi seni yang anti realitas (sosial).

Memang perlu dimengerti bahwa abstrak di Eropa dan Amerika diakui sebagai anak dari formalism, dan menjadi pencapaian penting Modernisme seni, dan dalam beberapa hal otonomisasi seni, yang terbibit dalam jargon L’art Pour l’art alias art for art sake, yang kemudian diperlawankan dengan art for life’s sake.[59] Sedangkan pada kasus Indonesia Abstrak justru kemudian kian berkembang, khususnya setelah realisme sosial dan realisme sosialis mengalami degradasi yang drastis pasca 1965–1966. Abstrak sendiri kemudian kian berkembang di 1970an-1980an, dan memuncak 1990an. Menurut Sanento Yuliman, abstrak Indonesia lebih cenderung abstraksi ketimbang abtrak murni. Maka bukan aneh, ketika misalnya muncul kritik terhadap karya abtrak sebagai ketidakjelasan, misalnya karya Ahmad Sadali yang disebut sebagai pemuja obskuritas. [60] Sehingga Sanento sendiri meyakini bahwa ciri abstrakisme di Indonesia adalah adanya lirisisme. Lirisisme yang dikemukakan Sanento, “merupakan ungkapan emosi dan perasaan pelukis dalam mengalami dunia. Sebuah lukisan menjadi bidang ekspresi, tempat seorang pelukis seakan-akan ‘memproyeksikan’ emosi dan getaran perasaannya, merekam kehidupan jiwanya. Bidang lukisan demikian itu dipandang sebagai dunia imajinasi yang memiliki kodrat sendiri, dunia imajiner atau irreal”.[61] Lebih jauh bahkan kemudian seni lukis abstrak di Indonesia, dinilai Martin Suryajaya sebagai anak dari formalisme Orde Baru, dalam arti estetika yang didukung orde baru dan mengarah pada modernisme estetik yang bersimbiosis dengan kapitalisme.[62] Artinya karya yang tanpa muatan kritis atas realitas sosial-politik Indonesia, dan nyaman bagi kepentingan pasar. Kendati pada kenyataanya, muncul arah abstrak yang disebut Sanento Yuliman sebagai anti-lirisisme, dimana ia berlawanan dengan lirisisme yang menyaring dan menjelmakan (mentransformasikan) pengalaman serta emosi ke dalam dunia imajiner, maka anti-lirisisme, menawarkan mulai dari sifat tertib matematis, dan rasionalitas dalam rupa, hingga yang menawarkan keaktuilan dan kekongkritan.[63] Pada perkembangannya, arah seni rupa pasca GSRB, disusul berbagai gerakan kolektif seni, menghadirkan muatan kritik atas kekuasaan (realitas sosial) bagi sejarah perkembangan seni rupa di Indonesia di masa Orde Baru.

Akhirnya, menjadi kesimpulan buatku bahwa pergeseran genre atau aliran dalam diri Ahmad Sadali dan Fadjar Sidik, merupakan spiritualistas tersendiri. Spiritualitas yang digali dari pengalaman dan daya hidup. Daya hidup dalam berkarya yang terus bergerak dari realisme hingga abstrak. Bukan berarti suatu tahap progresi atau fase naik kelas, sehingga apa yang sebelumnya lebih dangkal daripada yang sesudahnya. Namun bagaimana hasrat penggalian dalam diri subjektif seniman dalam merespon masyarakat beserta perubahan jamanlah yang kuanggap sebagai spiritualitas yang hakiki selaku manusia yang menolak jumud. Selain itu, jika spiritual adalah yang hakiki atau yang intim, dan dalam arti yang terdalam; Maka dalam ziarah genealogi lukisan atas keduanya menunjukkan bagaimana sudut terdalam manusia adalah daya hidupnya untuk terus mengolah cita rasa berkesenian maupun berkesenian untuk merespon hakikat hidup. Hakikat hidup sebagai dinamika ekpresi nurani dan batin yang terdalam ala Fadjar Sidik; Maupun hakikat hidup yang diarahkan Ahmad Sadali selaku manusia paripurna (Ulul Albab) melazimi pikiran, kepekaan dan Iman.

Spiritualitas Ahmad Sadali dan Fadjar Sidik tersebut, mustahil dilepaskan dari tubuh pengalaman berlidah ular itu tadi. Lidah realisme sosial yang awalnya tunggal menghadapi dekolonialisme/dekolonialisasi, lalu mendadak muncul cabang abstrak. Bukan aneh jika Fadjar Sidik pernah mengkritik perkembangan abstrak yang kian marak pada awal 1990an. Fadjar Sidik menyesali ketika abstrak menjadi mainstream, bahkan banyak yang lemah tehnik, hal mana ditakutkan Fadjar Sidik akan berujung pada kekurangan variasi, terdominasi satu gaya, dan terpuruk dalam pemiskianan bentuk.[64] Bahkan sebelum memulai abstraknya, Fadjar Sidik mempertanyakan seniman yang terus menggambar sawah dan gubung sementara gedung-gedung pencakar langit, mobil mewah dan pesawat terbang telah tumbuh.[65] Respon ini menunjukkan ajakannya untuk mengolah terus daya hidup dalam pencarian bentuk kesenian, sehingga terus merespon gerak jaman. Inilah kedalaman atau kehakikian yang kukira telah dicapai baik Fadjar Sidik maupun Ahmad Sadali. Kedalaman yang muncul dari tubuh sejarah berlidah ular. Bercabang dalam pengalaman realisme dan abstrak.

[ Tulisan ini merupakan catatan mentah yang sengaja dirampungkan beberapa minggu setelah usai kuliah umum. Adapun kala itu, bersama naskah-naskah para peserta kuliah, dikumpulkan dan disunting guna dipersiapkan oleh Jogja Contemporary menjadi sebuah buku. Namun karena terkendala, dan tahun kemudian Jogja Contemporary telah dibubarkan, maka rencana itu urung direalisasikan. Catatan mentah ini sengaja saya unggah sebagaimana aslinya kala itu, agar dapat dibaca dan ditanggapi netizen. Saya yang sekarang, sendirinya kian tak puas, dan masih tergoda untuk mengganti dan merubah isinya. Oleh sebabnya, kepada para pembaca, selamat membaca dan mari berdiskusi.]

***

Catatan Akhir:

[1] Diyanto, “Seni Lukis dan Obsesi Abadinya”, dlm, Bambang Sugiharto,

Eds., Untuk Apa Seni (Bandung: Matahari, 2013), hlm. 45.

[2] Walter Benjamin menulis: “But only a few decades after the invention of lithography, graphic art was surpassed by photography. For the first time, photography freed the hand from the most important artistic tasks in the process of pictorial reproduction-tasks that now devolved upon the eye alone. And since the eye perceives more swiftly than the hand can draw, the process of pictorial reproduction was enormously accelerated, so that it could now keep pace with speech”. Walter Benjamin, The Work of Art on the age of its Technological reproducibility. Page: 20–21. Artikel ini diiunduh dari: https://monoskop.org/images/6/6d/Benjamin_Walter_1936_2008_The_Work_of_Art_in_the_Age_of_Its_Technological_Reproducibility_Second_Version Baca bagian kedua, pragraf kedua. Baca apa yang digelisahkan Walter Benjamin tentang perkembangan seni di jaman ketereprduksian teknologis, menyangkut perkembangan fotografi hingga film yang banyak mementahkan pencapaian seni sebelumnya termasuk mengubah produksi seni selamanya.

[3] Lihat lebih rinci ringkasan sejarah gaya seni lukis dan periodisasinya, dalam, Diyanto, Ibid, hlm. 49–69. Atau Sudarto SP, Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern (Jakarta: CV Studio Delapan Puluh Enterprise dan Badan Penerbit ISI Yogyakarta), hlm. 16–147.

[4] Terry Michael Barrets, Critizing Art: Understanding the Contemporary (New York: McGraw Hill, 2000), hlm. 2.

[5] Katalog Biennale VI-1984, Seni Lukis Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta.

[6] Silahkan periksa di www.archive.iyaa-online.org/pelakuseni/ahmad-sadali-1 Atau lihat juga di laman www.artnet.com/artist/ahmad-sadali akan tampak betapa banyaknya karya ahmad sadali yang berhasil dihimpun. Sayangnya kedua karya yang tidak teridentifikasi judulnya dalam katalog Biennale VI-1984 tersebut, juga tidak ditemukan di kedua laman tersebut .

[7] Katalog Biennale VI-1984, ibid.

[8] Periksa Trisno Sumardjo, “Bandung Mengabdi Laboratorium Barat”, dlm, Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, Ed., Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2012), hlm. 131–133. Tulisan yang pertama kali dimuat dalam Koran Siasat, MInggu, 5 Desember 1954 ini memang ditujukan pada pameran mahasiswa Akademi Seni Rupa Bandung (20–27 November di Balai Budaya Jakarta), dimana Trisno Sumardjo dengan jelas mengkritisi para seniman yang berpameran, dinilainya sangat akademik (barat) dari segi berkarya dan melarutkan jiwa keindonesiaan yang menurutnya mesti berpijak pada kenyataan sosial. Kendati kemudian tulisan in mendapat tanggapan yang sangat menarik dari Sudjoko, seorang prfesor ITB. Lihat Sudjoko, “Kritik Terhadap Pelukis-Pelukis Bandung, dalam buku yang sama.

[9] Buka laman www.artnet.com/artist/ahmad-sadali

[10] Jika merujuk pada archive ivaa, namun menurut Claire Holt, Ayahnya justru seorang yang aktif dalam gerakan islam liberal. Kukira ini kesalahan pemahaman Claire Holt yang kurang memahami Muhammadiyah, sehingga puritanisme Muhammadiyah dinilainya sebagai liberalisme. Claire Holt, Art in Indonesia: Continuities and Change (New York: Cornell University Press, 1967) atau lihat versi indonesianya, Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, terj. Prof. Dr. R.M. Soedarsono (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2000), hlm. 523.

[11] Tengok dalam laman: www.gatra.com/nusantara/nasional/194038-arsitek-masjid-salman-itb-ahmad-noe’man-wafat

[12] Popo Iskandar, “Seni Melalui Virtuositas: Suatu Potret Tentang Ahmad Sadali”, dlm, Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, Ed., Ibid, hlm. 201–205.

[13] Lihat deskripsi singkat Amanda Kathrine Rath, “Ahmad Sadali (1924–1987), (The Routledge Encyclopedia of Modernism: Taylor and Francis, 2016), https://www.rem.routledge.com/articles/sadali-ahmad-1924-1987

[14] Jim Supangkat, “Ahmad Sadali dan Kemunculan Modernisme di Indonesia”, dlm, Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, Ed., Ibid, hlm. 257–258.

[15] Stanislaus Yangni, Ulul al bab: Bahasa Rupa Sadali, dlm, Dari Khaos ke Khaosmos: Estetika Seni Rupa (Yogyakarta: Erupsi Akademia dan Institut Seni Indonesia, 2012), hlm. 126–127.

[16] Stanislaus Yangni, Ibid, hlm. 127.

[17] Stanislaus Yangni, ibid, hlm, 128.

[18] Popo Iskandar, ibid, hlm. 203.

[19] Popo Iskandar, ibid, hlm. 204.

[20] Lihat Claire Holt, hlm. 523–524.

[21] Baca www.syakieb-sungkar.blogspot.co.id/2012/sadali_17.html?m=1

[22] Beberapa informasi tersebut bersumber dari: Katalog Biennale VI-1984, ibid.

[23] Brita L. Miklouho-Maklai, Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Kontemporer Indonesia Sejak 1966, Penerjemah Joebaar Ajoeb (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 36–43.

[24] Festival Kesenian 1976 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1976), hlm. 281–282. disamping empat pelukis lain, yakni Lien Sahar, Zaini, Oesman Effendi dan A.D. Pirous, dimana masing-masing memperolah hadiah Rp. 250.000.

[25] Periksa laman: www.jawapos.com/read/2017/03/29/119531/nasirun-si-pengumpul-karya-pejuang-kebudayaan

[26] Lihat laman: https://www.tembi.net/2017/02/20/peresmian-galeri-fadjar-sidik-sekaligus-harlah-ke-67-isi-yogyakarta/

[27] Antariksa, Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-LEKRA 1950–1965 (Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2005), hlm 30–45.

[28] Rhoma Dwi Aria Wiratama dan Muhidin M. Dahlan, “Politik Senirupa LEKRA”, dlm, Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, Ed., Ibid, hlm. 175–195.

[29] Misbach Thamrin, Amrus Natalsya dan Bumi Tarung (Bogor: Amnat Studio, 2008), hlm. 41 dan 109.

[30] Lihat laman: www.archive.iyaa-online.org/pelakuseni/fadjar-sidik-1

[31] Lihat laman yang dibuat putrinya, Amreta Sidik: www.fadjarsidik.com

[32]Lihat misalnya di www.hIstoria.id/budaya/walter-spies-dan-renaisans-bali disebutkan ttg Walter Spies bersama Marcel Bonnet, Nyoman Lempad dan Raja Tjokorde Gde Agung Sukmawati mendirikan Pita Maha pada 1935.

[33] Stanislaus Yangni, “Rakyat dalam figur-figur Ganjil Hendra”, dlm, Ibid, hlm. 100–103.

[34] Sudjojono, “Menuju Corak Seni Lukis Persatuan Indonesia Baru”, dlm, Seni Lukis, Kesenian dan Seniman (Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia, 2000), hlm. 16–17.

[35] Soe Hok Gie, “Di sekitar Persitiwa Pembunuhan Besar-besaran di Pulau Bali”, dlm, Zaman Peralihan (Jakarta: Gagas Media, 2005), hlm. 191–201.

[36] Joebar Ajoeb, Gerhana Seni Rupa Modern Indonesia (Jakarta: Teplok Press: 2004), hlm. 2.

[37] Dikutip dari Stanislaus Yangni, “Desain Ekspresif: Geometri yang hidup”, dlm, Ibid, hlm. 104–106.

[38] Stanislaus Yangni, ibid, hlm. 105.

[39] Stanislaus Yangni, ibid, hlm. 106.

[40] Stanislaus Yangni, ibid, hlm. 105–106.

[41] Lihat misalnya laman: https://www.mutualart.com/Artist/Fadjar-Sidik atau https://www.artsy.net/artist/fadjar-sidik/works dan tentunya dalam www.archive.iyaa-online.org/pelakuseni/fadjar-sidik-1

[42] Agus Dermawan T, “Yang Sempat Saya Catat, Sebelum dan Sesudah Pagelaran Seni Rupa Baru 1977”, dlm, Jim Supangkat, Ed., Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia: Kumpulan Karangan (Jakarta: Gramedia, 1979), hlm. 1–4.

[43] Galatia Puspa Sani Nugroho, “Membuka Katalog, Mengungkap Ideologi”, dlm, Ikun Sri Kuncoro, Ed., Membaca Arsip, membongkar Serpihan Friksi, Ideologi, Kontestasi: Seni Rupa Jogja 1990–2010, hlm. 14.16.

[44] Galatia Puspa Sani Nugroho, Ibid, hlm. 17.

[45] Galatia Puspa Sani Nugroho, Ibid, hlm. 22–25.

[46] Joebaar Ajoeb, ibid, hlm. 19

[47] Joebar Ajoeb, ibid, hlm. 20.

[48] Joebaar Ajoeb, ibid, hlm. 21.

[49] Kusnadi, “Arti Luas Kepribadian Seni Lukis Modern Indonesia”, dlm, Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, Ed., Ibid, hlm. 249

[50] Claire Holt, ibid, hlm. 523–524.

[51] Lihat dalam keterangan Katalog Biennale VI-1984,Ibid. Kendati dalam keterangan katalog ditemui kesalahn teknis, misalnya dalam katalog ini Fadjar Sidik dituliskan kelahiran tahun 1937, padahal yang benar adalah 1930, sebagaimana laman: www.archive.ivaa-online.org/pelakuseni/fadjar-sidik-1

[52]Periksa di www.thejakartapost.com/amp/news/2014/07/11/retracing-artistic-journey-maestro-ahmad-sadali.html

[53] https://m.tempo.co/read/news/2010/02/22/114227630/mengenang-pelukis-ahmad-sadali

[54] Sila baca misalnya: www.jogja.tribunnews.com/amp/2012/12/09/ayo-saksikan-karya-10-maestro-di-tby

[55] Dalam Pameran Yogya Annual Art, di Bale Banjar Sangkring, ruang pamer Sangkring Art Space, 20 Mei-20 Juli 2016. Bertajuk: “Tikar Fadjar Sidik, Rayuan Abstrak Pelukis Rakyat”, silahkan periksa dalam laman: https://seleb.tempo.co/read/news/2016/05/19/114772277/tikar-fadjar-sidik-rayuan-abstrak-pelukis-rakyat

[56] Stanislaus Yangni, Ibid, hlm. 104,

[57] Kusnadi, ibid, hlm. 248

[58] Nashar, Nashar oleh Nashar (Yogyakarta: Bentang, 2002), hlm. 135

[59]Asmudjo J. Irianto, Seni Lukis Abstrak Indonesia”, dlm, www.salihara.org/kalam/back-issues/detail/seni-lukis-abstrak-indonesia

[60] Agus Dermawan T, “Bom Seni Lukis”, dlm, Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, Ed., Ibid, hlm. 526.

[61] Periksa Sanento Yuliman, Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1976), hlm. 40.

[62] Lihat dalam www.indoprogress,com/estetika-orde-baru/

[63] Sanento Yuliman, Ibid, hlm. 41.

[64] Agus Dermawan T, Seni Lukis Abstrak Merajalela, dlm, Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, Ed., Ibid, hlm. 259.

[65] Bambang Bujono, “Guncangan Pada Kenyataan”, dlm, Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, Ed., Ibid,hlm. 221.

--

--

No responses yet